JAKARTA – Pengalaman pahit korban rokok bernama Zainudin barangkali bisa menjadi pelajaran berharga bagi orang lain untuk menjauhi aktifitas kebal-kebul batang tembakau yang mengandung racun nikotin itu.
Coba bayangkan, lelaki berusia 40 tahun itu kehilangan pita suaranya di kerongkongan karena serangan kanker laring. Setelah pita suara diangkat lewat operasi medis, lelaki penjual mie ayam itu kehilangan suara ”asli manusia.”
Ia bahkan tak bisa berbicara apapun, alias tak keluar suara apa-apa ketika berbicara pascaoperasi pita suara. Ia baru bisa berbicara setelah melakukan latihan serangkaian latihan bersendawa. Itu pun yang keluar suara mirip robot.
Bukan hanya itu, lehernya di bagian depan terpaksa dilubangi sebagai jelmaan lubang pernafasan baru, menggantikan fungsi hidung. Lubang itu dibuat sebagai konsekuensi operasi pita suara akibat kanker laring di masa lalu.
”Saya menyesal jadi perokok. Ini pelajaran bagi orang lain, jangan bersentuhan dengan rokok, kalau tak mau bernasib seperti saya,” ujar Zainudin saat menyampaikan testimoninya di acara workshop ”Suara Korban-korban Rokok” di Jakarta, Sabtu (9/6/2012).
Zainudin kehilangan pita suaranya semasa masih remaja belia. Apakah dia perokok berat? Sebenarnya tidak! ”Saya sebenarnya perokok pasif, lebih banyak ikut-ikutan waktu itu, tapi yang pasif saja risikonya kayak begini (apalagi yang aktif),” tutur lelaki yang kini suaranya terdengar parau dan terputus-putus itu.
Saat divonis kena kanker laring ia depresi berat. Operasi pengangkatan pita suara memang sukses dan berhasil menyelamatkan nyawanya. Tapi dia berubah menjadi pribadi yang minder dan menjauhi pergaulan.
”Gimana nggak depresi? Waktu itu saya masih belum nikah, masa-masa cari pacar, tapi kok kena kanker laring akibat rokok?” kenangnya. Saking depresinya, ia sempat banting-banting barang-barang di rumahnya sebagai pelampiasan kemarahan. Aktifitasnya di pengajian dan penggiat Karang Taruna pun langsung dia stop, lantaran malu.
Untung, seorang sahabat dekat terus-menerus memotivasinya untuk bangkit dari keterpurukan. Kini ia sudah menjelma menjadi pribadi yang pantang menyerah dan tetap mensyukuri nikmat Tuhan dengan segala keterbatasannya yang tanpa pita suara.
Agar pengalaman pahit hidupnya tak terulang pada orang lain, ia dengan senang hati berkampanye anti rokok di berbagai acara.
”Saya nggak rela orang lain seperti saya. Apalagi sekarang anak-anak makin banyak yang jadi perokok. Gimana gedenya?” ujarnya, prihatin.
Bersama puluhan orang lain, ia bergabung dalam, Perhimpunan Wicara Esofagus (PWE). Di organisasi ini dia duduk sebagai sekretaris dan hingga kini aktif mengampanyekan gaya hidup sehat tanpa asap rokok.
Sumber : TRIBUNNEWS.COM
0 comments:
Post a Comment