Zhenping, China, Foto yang diposting secara online dan menunjukkan gambar mayat bayi penuh darah, yang ibunya diduga dipaksa untuk mengakhiri kehamilannya pada usia kandungan 7 bulan telah menyebabkan kegemparan di China.
Kelompok pembela HAM mengatakan pihak berwenang di provinsi Shaanxi, China, memaksa sang ibu Feng Jianmei untuk menggugurkan kehamilannya pada 2 Juni lalu karena dia tidak mampu membayar 40.000 yuan (sekitar Rp 59 juta) sebagai ganjaran telah melebihi kebijakan 'satu anak' untuk mengendalikan populasi.
Pihak berwenang di daerah Zhenping, di mana aborsi itu terjadi, mengatakan bahwa Feng telah menyetujui prosedur aborsi. Tapi kepada AFP, seperti dilansir Jumat (15/6/2012), seorang narasumber mengatakan Feng dan suaminya telah menentang aborsi tersebut.
Narasumber yang tak ingin disebutkan namanya, juga menegaskan keaslian foto yang diposting online, yang menunjukkan Feng di tempat tidur di samping tubuh bayinya yang penuh dengan noda darah.
Pengguna internet di China yang marah menyatakan keraguan bahwa Feng telah sepakat untuk aborsi dan bahwa media pemerintah mengutuk prosedur tersebut.
"Siapa yang akan meletakkan bayi berdarah-darah di samping ibunya? Ini yang mereka sebut dilakukan oleh setan Jepang dan Nazi. Tapi ini terjadi secara nyata dan ini bukan berarti hanya satu kasus. Mereka harus dieksekusi," posting salah satu pengguna internet China pada berita postal Netease.com.
Pengguna lain posting di forum populer clubkdnet.net, mengatakan sistem keluarga berencana (KB) China telah membiarkan 'pembunuhan' selama bertahun-tahun atas nama kebijakan nasional.
"Apa yang salah dengan masyarakat?" tambahnya.
China telah menerapkan kebijakan pengendalikan keluarga berencana 'satu anak' sejak akhir 1970-an dalam upaya untuk mengendalikan jumlah penduduk yang telah tumbuh menjadi 1,3 miliar orang, terbesar di dunia.
Berdasarkan kebijakan tersebut, keluarga perkotaan umumnya diperbolehkan memiliki satu anak, sementara keluarga pedesaan bisa melahirkan dua anak jika anak pertama perempuan.
"Cerita Feng Jianmei itu menunjukkan bagaimana kebijakan satu anak terus menjadi kekerasan terhadap perempuan setiap hari," kata Chai Ling, kepala kelompok hak asasi All Girls Allowed yang berbasis di Amerika Serikat.
Media resmi China juga mengutuk kasus ini, tetapi mengatakan kebijakan keluarga berencana yang kontroversial harus tetap jalan.
Pejabat di rumah sakit di daerah Zhenping, di mana aborsi diduga terjadi, menolak berkomentar ketika berulang kali dihubungi oleh AFP.
Sumber : detik.com
0 comments:
Post a Comment